Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Luluk Nuraziza Widhowati

Kartu Jakarta Pintar: Investasi Berupa Anak

Guru Menulis | Thursday, 31 Mar 2022, 13:30 WIB

Mengajar identik dengan mencerdaskan siswa, mentransfer ilmu dan memberikan pemahaman karakter yang baik bagi siswa. Di masa pandemi, proses mengajar mendapat satu tambahan tantangan, siswa yang tidak hadir saat pembelajaran namun diharuskan memenuhi kompetensi dasar. Kondisi yang kerap terjadi pada siswa yang tidak memiliki motivasi belajar sejak awal, dan atau memiliki kesulitan ekonomi. Pada akhirnya meski tak "lulus" kompetensi dasar, tak ada hukuman dan siswa tersebut tetap lulus. Pada rumah tangga dimana siswa terpenuhi fasilitas untuk belajar berupa tempat tinggal memadai, gawai yang terisi kuota atau wifi, dan makanan bergizi sehingga mereka tidak perlu khawatir akan hal selain belajar. Siswa yang tidak beruntung memiliki sumber daya maksimal namun memiliki motivasi yang kuat juga mampu bertahan pada masa pandemi, dan ini patut mendapat apresiasi.

Ketika mengajar di sekolah swasta "mahal", saya tidak pernah berurusan dengan Kartu Jakarta Pintar atau KJP hanya mendengar atau membaca saja berita mengenai penyalahgunaan KJP. Tapi baru 6 bulan di sekolah negeri saya menyaksikan dan mendengar langsung kondisi di lapangan. Hipotesis nol saya: kartu pintar tidak bikin pintar.

Ketika mendapati siswa "bermasalah" guru akan melakukan home visit terhadap siswa tersebut, sebut saja siswa A, B, dan C. Saat berkunjung ke rumah siswa A, orang tua siswa A hanya menanyakan status pencairan KJP, beliau kembali tidur setelah memanggil anaknya, tidak peduli alasan home visit. Orang tua siswa B ketika ditanya mengapa anaknya tidak mengikuti pembelajaran bahkan tidak tahu anaknya kemana, dengan enteng bilang anaknya minggat sama pacarnya. Kasus terakhir, orang tua siswa C minta maaf tapi tidak mau dan tidak bisa mengganti gawai pinjaman sekolah yang dijual anaknya.

dok: Republika

Tidak habis pikir kalau bertemu anak dan ortu yang dapat fasilitas dari sekolah ataupun pemerintah, tapi tidak bertanggung jawab. Bagaimana bangsa kita mau maju kalau keinginan maju saja tak punya. Miris melihat fakta, tak ada mental yang di revolusi meski APBN untuk sektor pendidikan 20% diambil dari utang negara yang takkan pernah bisa lunas. Ingin setara dengan tingkat pendidikan Swedia atau Denmark? duh jangan muluk-muluk, saat ini bisa setingkat Malaysia dan Singapura saja sulit. Di sekolah, anak diberi ilmu dan dididik, tapi kalau orang tua tak peduli seolah menggadai anak demi uang dari KJP, bagaimana bisa karakter baik terbentuk?

Ponsel pintar, tv pintar, mobil pintar, rumah pintar bisa diciptakan. Orang tua yang pintar? Hipokrit kalau dibilang penerima KJP/KIP mental gratisan, karena selama Shopee, Gojek, Grab sedia diskon pasti kita pakai. Kalau ada yg murah kenapa pilih yg mahal? wajar. Intinya, sudahlah sekolah gratis, fasilitas dipinjamkan, diberi bantuan untuk kebutuhan sekolah, tapi disalahgunakan.

Bagi sebagian besar orang Indonesia, anak adalah investasi, seperti frasa yang akrab di telinga masyarakat kita: "banyak anak, banyak rezeki". Sepertinya hal ini masih relatif di masa sekarang. KJP dijadikan sebagai tumpuan hidup, bukan untuk memperbaiki kualitas dalam pendidikan anak tapi digunakan untuk hidup sehari-hari. Anak benar-benar dijadikan sebagai investasi, dimasukkan sebagai penerima KJP sehingga dapat uang tambahan. Mirisnya, KJP dikejar namun pendidikan anak diabaikan. Banyak kasus dimana anak penerima KJP tidak mengikuti pembelajaran, jauh lebih rajin anak yang tidak menerima KJP.

Berdasarkan Buku Survei Evaluasi Program KJP Plus 2019 yang dikeluarkan oleh Dinas Komunikasi,Informatika, dan Statistik Provinsi DKI Jakarta, penerima KJP Plus menyatakan bahwa besaran dana yang diberikan masih kurang. Padahal jika digunakan hanya untuk membayar SPP, anak yang disekolahkan di sekolah negeri bahkan tidak perlu membayar SPP, nominal KJP sangatlah cukup. Kebutuhan lain seperti buku pelajaran pun dipinjamkan oleh sekolah. Berdasarkan survey tersebut, alokasi penggunaan dana KJP diakui oleh orang tua adalah untuk uang saku dan uang jajan anak, juga untuk uang transportasi. Secara umum, jika uang bantuan KJP digunakan untuk transpor maka sudah ada kartu jak-lingko dimana setiap pengguna tidak dikenakan biaya. Sistem zonasi yang berlaku juga seharusnya mengurangi jarak tempuh siswa sehingga tidak memakai uang yang cukup banyak untuk transportasi. Memang jumlah siswa yang diterima berdasarkan sistem zonasi sebesar. Dana alokasi untuk transportasi dan uang saku siswa dapat dialihkan untuk membeli kuota pada masa pandemi, walaupun pemerintah telah memberikan bantuan kuota belajar.

Pendidikan seorang anak adalah tanggung jawab orang tua, pemerintah berusaha memberikan bantuan melalui KJP untuk membantu meringankan beban selain menggratiskan biaya belajar di sekolah negeri. Melihat banyaknya KJP yang banyak didapatkan oleh orang tua yang tidak perhatian dengan pendidikan anaknya terasa ironis. Sementara banyak di luar sana banyak siswa yang lebih rajin dengan ekonomi yang sama atau bahkan lebih rendah tapi tidak menerima KJP, memiliki prestasi yang lebih baik.

Survey yang dilakukan oleh pemprov DKI mengenai penggunaan KJP Plus mungkin bisa ditambahkan dengan data prestasi siswa penerima KJP di sekolah agar hasil analisis bersifat lebih komprehensif dan dapat menjawab pertanyaan, apakah Kartu Jakarta Pintar benar-benar membuat siswa menjadi pintar?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image